Q. S. Al-Fath ayat 10, yang artinya, “Tangan Allah di atas tangan mereka,” Ini benaran ayat suci lho! Tidak perlu diragukan lagi sebagai bagian dari Al-Qur’an, meski sekilas membacanya orang akan bertanya-tanya. Apakah Tuhan punya tangan? Namun ini kan membingungkan karena Tuhan berlainan dengan wujud ciptaan-Nya. Sebab Allah memiliki sifat mukhalafatu lil hawaditsi berbeda dengan makhluk. Akhirnya, bermuaralah pada pertanyaan, apa urgensinya ayat tangan Tuhan ini dalam kehidupan manusia? Inilah pentingnya ilmu tafsir! Al-Qur’an merupakan kalamullah yang amat spektakuler maknanya dan butuh kedalaman ilmu dalam mencernanya. Ilmu tafsir yang akan menjawab segenap tanya yang muncul, dan melegakan berbagai ragu yang berserak. Terlebih dahulu, mari disimak versi lengkap dari surat Al-Fath ayat 10 ini, agar memperoleh pemahaman yang utuh. Berikut terjemahannya “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepadamu Muhammad, sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa melanggar janji, maka sesungguhnya dia melanggar atas janji sendiri; dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Dia akan memberinya pahala yang besar.” Mula-mula kejadiannya begini, Nabi Muhammad dan sekitar kaum muslimin yang hendak berziarah ke Ka’bah tertahan di Hudaibiyah, gara-gara manuver musyrikin Quraisy yang menghalangi. Kemudian Rasul mengutus Usman bin Affan ke Mekkah bernegosiasi dengan pihak Quraisy. Telah lama menunggu tapi Usman tak kunjung kembali, bahkan tersiar kabar Usman bin Affan telah dibunuh. Kabar itu malah membuat kaum muslimin makin membaja imannya, dengan berjanji setia untuk membela agama Allah. Dan tentunya akan membela darah Usman sekiranya benar dibunuh. Janji setia dalam ketaatan itulah yang dikenal dengan peristiwa Baitur Ridhwan. Imam As-Suyuthi dalam buku Tarikh Khulafa menyebutkan, tatkala Rasulullah memerintahkan untuk melakukan Baitur Ridhwan, Usman saat itu adalah utusan Rasulullah yang dia utus kepada penduduk Mekkah. Para sahabat berbaiat kepada Rasulullah. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Usman bin Affan sedang melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.” Kemudian beliau menempelkan tangannya kepada yang lain sebagai pertanda bahwa tangan yang satu adalah simbol sebagai tangan Usman. Kemudian Usman bin Affan kembali dengan selamat, tapi baiat itu menjadi sejarah penting di mana umat Islam bersatu padu dalam ikrar setia membela agama Allah. Lha, apa hubungannya Baitur Ridhwan dengan yadullah atau tangan Allah? Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menerangkan, bahwa orang yang berjanji setia biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasul adalah dengan meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji tersebut. Maka, yang dimaksud dengan tangan Allah di atas tangan mereka adalah menegaskan ketika berjanji dengan Rasul sama dengan berjanji dengan Allah. Seolah tangan Allah yang di atas dari tangan mereka yang berjanji setia. Dari itu perlu dicermati, Allah Maha suci dari sifat-sifat yang menyerupai makluk-Nya. Syahadat kita adalah janji setia kita pada Allah dan Rasulullah. Meski dalam syahadat ini kita tidak berjabat tangan langsung dengan Rasul, akan tetapi ada tangan Allah yang menyertai tangan kita. Apa urgensi ayat tentang tangan Allah ini? Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat tajassum antropomorfisme yang menggambarkan seolah-olah Allah punya tubuh dan anggota badan sebagaimana manusia, salah satunya pada ayat yang tengah kita bahas ini. Para ulama memandangnya sebagai majasi atau makna kiasan, bukan berarti Tuhan punya seperti anggota tubuh macam manusia. dalam buku Rasyid Ridha Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsir Al-Manar menerangkan, bahwa cara menakwilkan semua ayat antropomorfisme dengan arti majasi yang biasa dipakai dalam bahasa Arab. Misalnya, kata wajah Allah kadang-kadang ditakwilkan dengan zat Allah dan kadang-kadang ditakwilkan dengan keridaan-Nya sesuai dengan siyaq al-kalam konteks kalimat, mata ditakwilkan dengan pengetahuan atau pengawasan, tangan ditakwilkan dengan kekuasaan. Penafsiran tidak berhenti sampai di sini saja, M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menyebutkan, bahwa tangan Allah, yakni kekuasaan, kekuatan dan anugerah-Nya. Dia yang menyertai dan membantu yang berjanji itu. Logikanya dapat kita cerna, tangan memang sumber kekuatan, banyak hal yang bisa diperbuat oleh dua tangan yang tak tergantikan oleh anggota tubuh lainnya. Tangan memang kuat, bukan hanya perkara energi tetapi juga manfaat yang dihasilkannya. Dalam hidup ini, baik itu bekerja, belajar, berkegiatan dan sebagainya hendaklah kita mengandalkan semangat tangan Tuhan alias kekuatan Allah. Tangan manusia ini teramat lemah untuk memikul beratnya tanggung jawab, dan insyallah segalanya menjadi ringan jika kekuatan Ilahi yang menyertai tangan kita.
KepadaRepublika Online, Ahmad mengatakan Allah SWT mengatur segala urusan kehidupan dunia. "Allah mengatur apa saja sampai hal-hal terkecil," kata Ahmad, kepada Republika, Selasa (23/6). Pakar hadis ini lantas menyitir surah Al Zalzalah ayat 7-8 yang menyebut bahwa Allah akan membalas setiap kebaikan dan keburukan walau sebutir zarrah.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Bekerjalah Bekerjalah biarkan orang-orang lain menilai pekerjaanmu, iya kita dituntut untuk terus bekerja, bekerja dan bekerja. Adakalanya pekerjaan yang menurut kita baik, dimata orang itu tidak baik. Begitu pun sebaliknya ketika kita beranggapan itu tidak baik bisa jadi orang lain menganggapnya baik. Pernah suatu ketika zaman dahulu, terlepas cerita ini nyata atau dongeng, namun bisa kita ambil pelajarannya, yaitu tentang ayah dan anak serta keledainya. Diceritakan tentang seorang ayah dan anak yang melakukan perjalanan jauh dengan seekor keledai. Beberapa tempat dilaluinnya dan wajah-wajah asing dari penduduk didaerah itupun seolah bergantian menatap dan mencibir mereka. Kejadian itu bermula ketika jarak tempuh yang begitu jauh sementara mereka hanya membawa seekor keledai yang menemani perjalanan mereka. Oleh karena itu, merekamemutuskan untuk bergantian menaiki keledainya. Setelah beberapa hari melakukan perjalanan, akhirnya mereka melihat ada suatu perkampungan yang dihuni oleh banyak penduduk dan mereka berencana singgah di tempat itu. Dengan perasaan penuh keyakinan mereka akan memasuki perkampungan itu dengan perasaan senang. Ketika sampai di perkampungan itu, bertepatan dengan giliran sang ayah yang menunggang keledai dan si anak menuntun mendapat sambutan yang hangat dari penduduk kampung, mereka justru mendapat cibiran dari masyarakat sekitar. Bahkan ada yang berkata “Anda ini seorang ayah yang tega sama anaknya, masak anaknya disuruh jalan kaki sedangkan dirimu enak-enakan duduk di atas keledai?”. Mendengar kritikan tajam ini sang ayah pun mengiyakan melanjutkan perjalanan dan pergi meninggalkan perkampungan itu. Perjalananpun berlanjut, giliran sang anak menunggangi keledai dan ayahnya yang terus berjalan kaki, mereka pun melihat perkampungan selanjutnya. Betapa terkejutnya mereka, tatkala mereka singgah di perkampungan itu mereka juga mendapat kritikan yang luar biasa tajamnya, “Apakah anak Anda itu durhaka?! Masa anda seorang ayah disuruh berjalan, sedangkan anak Anda menaiki keledai. Didiklah kesopan santunan pada anak Anda!”. Mendengar kritikan ini, Sang Ayah pun mengiyakan mereka kembali. Akhirnya mereka pun akan meninggalkan desa itu untuk melanjutkan perjalanan kejadian yang tidak mengenakan itu tentu menjadi evaluasi bagi mereka, akhirnya ayah dan anak ini memutuskan untuk menaiki sang keledai berdua. Perjalanan pun sampai kepada perkampungan selanjutnya dan mereka mampir di perkampungan itu. Dengan perasaan yang berbunga-bunga, karena sampai diperkampungan yang baru. Mereka pun berharap tidak ada lagi mendapat cibiran setelah dua kejadian yang tak mengenakkan mereka. Namun, betapa terkejutnya mereka ketika mendapat kritikan yang tidak kalah tajamnya dengan yang sebelumnya. Penduduk kampung itu berkata, “Alangkah kejamnya kalian ini, masak keledai kecil dan kurus seperti itu kalian naiki berdua?!”. Sang Ayah pun mengiyakan pun akan berpamitan pergi untuk melanjutakan perjalanan berikutnya. Mereka memiliki inisiatif untuk menunutun saja keledai itu, sementara mereka berdua berjalan kaki. Tatkala mereka memasuki perkampungan selanjutnya, alangkah terkejutnya mereka. Ternyata mereka pun masih mendapat kritikan yang tak kalah hebatnya, sedangkan mereka ingin agar semua orang yang ia singgah di tempat itu memujinya atau minimal menerima inisiatif mereka. Penduduk perkampungan itu mengatakan, “Kalian ini melakukan hal yang sia-sia, kalian memiliki keledai yang bisa kalian tunggangi. Masak kalian jalan kaki sementara keledai itu tidak membawa beban kecuali barang-barang kalian saja?!”.Sang ayah pun menerima kritikanmasyarakat kampung kali kejadian berturut-turut, dan semua yang mereka lakukan dianggap salah oleh penduduk kampong yang mereka lalui. Sang ayah kalut dan galau. Akhirnya mereka berpamitan untuk melanjutkan perjalanan. Si ayah pun kembali mendapatkan ide. Keledai yang ada bersama mereka itu dipikulnya. Dan mereka kembali sampai di suatu perkampungan, tentu saja orang-orang kampung itu heran dan tertawa, akhirnya mereka pun bertanya, “kenapa kalian tertawa?”, orang-orang kampung menjawab, “Kalian ini sudah gila?Masak kalian melakukan perjalanandan memiliki keledai, namun kalian yang malah memikulnya?”. Betapa bingungnya mereka, dan sang ayah pun galau setengah cerita itu tentu sering terjadi dikehidupan kita sehari-hari. Adakalanya kritikan orang akan mampu menyadarkan kita, mungkin yang kita lakukan itu salah, begitupun sebaliknya. Seperti cerita diatas, tentu kita tidak bias lepas dari pendapat orang lain terhadap diri kita. Jadi bagaimana hasil dari tanggapan orang lain terhadap kita, tergantung bagai mana kita menyikapinya. Masih teringat jelas kalimat yang disampaikan salah satu politisi kita, yang mendapat gelar Soekarno Muda-Bung Anis Mata- bahwa jangan sampai kata-kata orang lain menentukan masa depan kita, dan jangan biarkan orang lain menentukan nasib kita. Kata-kata itu tentu memiliki makna yang begitu dalam, selurus-lurusnya kita berjalan pasti aka nada orang yang mengatakan jalan yang kita ambil itu tidak lurus. Iya, ada benarnya. Karena kita sebagai manusia biasa, tentu tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan yang tidak kita masih menyimpan memori tentang sabda dari manusia termulia di muka bumi, beliau kekasih kita Nabi SAW, beliau pernah bersabda bekerjalah kalian untuk dunia, seolah-olah kau akan hidup selamanya. Kata-kata beliau ini tentu sangat berarti bagi kita, dan beliau melanjutkan sabdanya dan bekerjalah kalian untuk akhirat seolah-olah kalian mati besok. Lanjutan kata-kata itu tentu mengandung pesan kalau kita dituntut untuk terus bekerja bagaimana pun kondisi kita. Baik dalam keadaan berat maupun ringan. Kita sebagai manusia hanya diperintahkan untuk terus bekerja dan menyerahkan semuanya kepada sang pemilik alam, Karena roda bumi terus berputan. Jadi terus lah bekerja, dan biarkan Allah menilainya, dan masyarakat mencontohnya. Lihat Politik Selengkapnya TsaniaMarwa Belum Berhasil Jemput Anak, Maia Estianty: Biarkan Allah yang Bekerja! 06 Mei 2021 20:30 WIB. Tsania Marwa dan Maia Estianty (Instagram/tsaniamarwa4) Meskipun pengadilan sudah memutuskan bahwa hak asuh kedua anaknya jatuh ke tangan Tsania Marwa, Atalarik Syah sendiri belum ingin menyerahkan sang anak kepada ibunya. source Assalamualaikum, Ketika tema masa kecil disuguhkan oleh Mbak Nia Nurdiansyah dan Mbak Anjar Sundari untuk diceritakan dalam arisan kali ini, saya harus memutar memori lumayan keras karena bagi saya, masa kanak-kanak saya tak begitu membahagiakan. Banyak hal yang kemudian saya lupakan karena dalam alam bawah sadar saya tak menginginkan hal-hal buruk kembali dalam ingatan. Mungkin saja, hal ini salah satu pertahanan saya untuk bisa survive di masa itu. Bagi sebagian orang, hal itu mungkin bukan satu hal yang besar. Urusan anak-anak. Namun ketika anak-anak mengalami dan terluka, tak pernah disadari oleh orang dewasa sekalipun bahwa hal buruk yang dirasakan ternyata mengendap. Saat saya bercerita pada suami, saya disarankan untuk menuliskan yang saya rasakan untuk katarsis supaya perasaan negatif dalam hati tersalurkan. Waktu itu saya tak mau. Saya tak ingin ingatan tentang hal buruk hadir dan membuat luka lama terkuak. Namun sejujurnya saya ingin menuliskan hal itu untuk healing saya dari rasa sakit. Mungkin, ini adalah saatnya. Saya merasakan apa yang saat ini dinamakan bullying di masa kanak-kanak saya. Tak cuma satu orang, namun beberapa orang. Saya sudah biasa dikucilkan teman perempuan, tanpa saya tahu apa sebabnya. Ingin ikut bermain bersama teman, tak diperbolehkan. Bahkan saya ajak ngomong pun mereka menulikan telinga, tetap bermain sambil cekikikan, saling berbisik di telinga. Mata mereka melirik ke arah saya dengan tatapan yang saat itu saya sendiri tak tahu bagaimana mendefinisikan. Satu titik dimana saya kemudian mencoba bertahan tanpa menangis ketika salah satu teman laki-laki memberikan hadiah pada saya. Ketika saya sejenak pergi dari bangku, barang itu sudah raib. Barang itu sudah menjadi milik teman-teman perempuan sampai tak bersisa. Saya tak bisa berkata-kata. Namun hati saya saat itu berbisik. Ini terakhir kali saya terluka. Saya jadi membenci kaum saya sendiri. Saya ralat. Saya benci teman perempuan. Saya pun lantas lebih banyak bermain dengan teman laki-laki. Sampai belajar kelompok pun, saya memilih dengan teman laki-laki. Menurut saya, teman laki-laki lebih asyik. Lebih menyenangkan. Tak ada yang mengucilkan. Mereka tak mengistimewakan saya karena saya perempuan. Semua sama. Hal itu ternyata menyamankan saya. Semuanya melekat di benak saya. Sampai saya dewasa pun teman perempuan hanya bisa di hitung dengan jari tangan. Saya takut untuk memulai berteman dengan perempuan. Untuk bersahabat dengan teman perempuan saya sangat memilih. Saya kesulitan dekat dengan teman perempuan. Jangankan untuk curhat, main bareng pun saya sangat jarang. Pasti saya melibatkan teman laki-laki jika ada urusan dengan teman perempuan. Sesungguhnya, dalam hati kecil, saya ingin bisa berteman dengan mudah dengan kaum saya. Namun dalam diri saya seperti ada barikade tersendiri ketika ada perempuan yang punya niat baik berteman dengan saya. Saya ragu, apakah saya bisa diterima. Apakah saya bisa menjadi teman yang baik untuk mereka? Apakah mereka tulus tanpa ada tendensi apapun? Mau tahu bagaimana saya membuka diri? Sejujurnya, saya harus berterima kasih pada teman-teman IIDN Semarang. Merekalah yang membuat saya percaya bahwa masih banyak perempuan yang hadir dengan ketulusan tanpa memandang siapa diri saya. Saya masih ingat pertama kali kopdar di rumah Dik Aan, saya merasa minder sangat. Penulis-penulis keren ngumpul di sana. Mba Dedew yang masih hamil besar dengan ramah menegur saya, Mbak Dian Kristiani yang ceplas ceplos. Langsung ketawa lepas sama Mb Archa. Mbak Dian Nafi yang humble, Mba Wati yang murah senyum. Ah ... Segala perasaan negatif yang saya takutkan perlahan memuai. Pas balik saya bareng Wuri yang kalemnya kelewatan. Saat itu sama-sama newbie di IIDN Semarang, jadi merasa senasib sepenanggungan hahaha ... Memaafkan memang menjadi hal terpenting saat kita merasakan luka. Keikhlasan untuk melepaskan supaya kekecewaan dan kemarahan tak lagi menjadi duri dalam hati menjadi sesuatu paling berat. Namun bukan berarti itu tak bisa dilakukan. Dan memang, semuanya terasa lebih ringan saat kita berdamai dengan rasa sakit. Kita yang berusaha, dan biarkan tangan Tuhan yang bekerja. Tuhan Maha Pembolak balik hati manusia. 6mIA48.